GEMA FAJAR GUNAWAN

Time

Sabtu, 30 Juni 2012

Kebutuhan Protein pada Ternak Non Ruminansia


Kebutuhan Protein pada Ternak Non Ruminansia

Gema Fajar Gunawan
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Email: gemacules@gmail.com
Dalam dunia peternakan kita dapat membagi ternak kedalam dua golongan, yaitu ternak ruminansia dan ternak non ruminansia. Ternak yang masuk kedalam golongan ternak ruminansia diantaranya sapi, kambing, domba, kerbau dan ternak yang masuk golongan non ruminansia diantaranya yaitu ayam dan babi. Ternak non ruminansia berarti ternak yang tidak mengalami ruminasi atau memamah biak. Hal ini dikarenakan ternak non ruminansia memiliki perut tunggal.
Pakan merupakan faktor yang dominan dalam menentukan tingkat produksi ternak. Oleh karena itu, komposisi ransum harus sesuai dengan kebutuhan ternak. Zat gizi yang paling harus diperhatikan dalam penyusunan ransum yaitu protein dan karbohidrat. Kebutuhan zat gizi tersebut harus diketahui dalam penyusunan ransum supaya kebutuhan zat gizi ternak tersebut dapat terpenuhi. Pada kesempatan ini, saya akan coba membahas mengenai kebutuhan protein dan energi pada ternak ayam niaga pedaging, ayam niaga petelur dan babi.
Ayam niaga pedaging (broiler) merupakan ternak final stock yang dibudidayakan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Kebutuhan protein dan energi harus diketahui sebelum menyusun ransum, oleh karena itu diperlukan keterampilan dalam menghitung kebutuhan protein dan energi untuk ternak ayam broiler. Kebutuhan protein pada ayam broiler terbagi kedalam 3 kebutuhan, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pertumbuhan jaringan atau karkas dan kebutuhan protein untuk pertumbuhan bulu. Kebutuhan energi pada ayam broiler juga dibagi menjadi 3 kebutuhan, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk aktivitas dan kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Pada ayam broiler kebutuhan protein dan energi harus memperhatikan fase pertumbuhannya.
Ayam niaga petelur merupakan ayam yang dibudidayakan dengan tujuan utama menghasilkan telur konsumsi. Pada ayam niaga petelur juga kebutuhan protein dan energi berbeda. Kebutuhan protein pada ayam niaga petelur dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pembentukan jaringan, kebutuhan protein untuk pertumbuhan bulu dan kebutuhan protein untuk pembentukan telur. Kebutuhan energi untuk ayam niaga petelur juga dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk aktivitas, kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan kebutuhan energi untuk pembentukan telur. Pada ayam niaga petelur kebutuhan protein dan energi juga harus memperhatikan fase pertumbuhannya.
Ternak babi memiliki keunggulan dapat beranak banyak (prolifik), sehingga prospektif untuk dibudidayakan. Kebutuhan protein dan energi pada ternak babi dapat dibedakan pada ternak yang sedang tumbuh dan ternak yang sedang bunting. Kebutuhan protein pada ternak sedang tumbuh dibedakan menjadi 2, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok dan kebutuhan protein untuk pertumbuhan jaringan, sedangkan kebutuhan protein pada ternak bunting dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pertambahan bobot badan induk, kebutuhan protein untuk produk kebuntungan atau konsepsi dan kebutuhan protein untuk babi menyusui.
Kebutuhan energi pada ternak babi sedang tumbuh dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok dan kebutuhan energi untuk pertumbuhan, sedangkan kebutuhan energi untuk ternak sedang bunting dapat dibedakan menjadi 3, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk pertambahan bobot badan babi bunting dan kebutuhan energi untuk laktasi.
Penghitungan kebutuhan protein dan energi yang tepat akan memberikan panduan penyusunan ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak yang bersangkutan. Ternak non ruminansia yang mendapatkan pakan yang balance dari segi kualitas dan kuantitas, maka produksi yang dihasilkan dapat optimal. Semoga ulasan ini dapat menjadi bahan informasi bagi peternak maupun pihak terkait. Semoga banyak manfaatnya.

Kebutuhan Protein pada Ternak Non Ruminansia


Kebutuhan Protein pada Ternak Non Ruminansia

Gema Fajar Gunawan
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Email: gemacules@gmail.com
Dalam dunia peternakan kita dapat membagi ternak kedalam dua golongan, yaitu ternak ruminansia dan ternak non ruminansia. Ternak yang masuk kedalam golongan ternak ruminansia diantaranya sapi, kambing, domba, kerbau dan ternak yang masuk golongan non ruminansia diantaranya yaitu ayam dan babi. Ternak non ruminansia berarti ternak yang tidak mengalami ruminasi atau memamah biak. Hal ini dikarenakan ternak non ruminansia memiliki perut tunggal.
Pakan merupakan faktor yang dominan dalam menentukan tingkat produksi ternak. Oleh karena itu, komposisi ransum harus sesuai dengan kebutuhan ternak. Zat gizi yang paling harus diperhatikan dalam penyusunan ransum yaitu protein dan karbohidrat. Kebutuhan zat gizi tersebut harus diketahui dalam penyusunan ransum supaya kebutuhan zat gizi ternak tersebut dapat terpenuhi. Pada kesempatan ini, saya akan coba membahas mengenai kebutuhan protein dan energi pada ternak ayam niaga pedaging, ayam niaga petelur dan babi.
Ayam niaga pedaging (broiler) merupakan ternak final stock yang dibudidayakan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Kebutuhan protein dan energi harus diketahui sebelum menyusun ransum, oleh karena itu diperlukan keterampilan dalam menghitung kebutuhan protein dan energi untuk ternak ayam broiler. Kebutuhan protein pada ayam broiler terbagi kedalam 3 kebutuhan, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pertumbuhan jaringan atau karkas dan kebutuhan protein untuk pertumbuhan bulu. Kebutuhan energi pada ayam broiler juga dibagi menjadi 3 kebutuhan, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk aktivitas dan kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Pada ayam broiler kebutuhan protein dan energi harus memperhatikan fase pertumbuhannya.
Ayam niaga petelur merupakan ayam yang dibudidayakan dengan tujuan utama menghasilkan telur konsumsi. Pada ayam niaga petelur juga kebutuhan protein dan energi berbeda. Kebutuhan protein pada ayam niaga petelur dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pembentukan jaringan, kebutuhan protein untuk pertumbuhan bulu dan kebutuhan protein untuk pembentukan telur. Kebutuhan energi untuk ayam niaga petelur juga dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk aktivitas, kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan kebutuhan energi untuk pembentukan telur. Pada ayam niaga petelur kebutuhan protein dan energi juga harus memperhatikan fase pertumbuhannya.
Ternak babi memiliki keunggulan dapat beranak banyak (prolifik), sehingga prospektif untuk dibudidayakan. Kebutuhan protein dan energi pada ternak babi dapat dibedakan pada ternak yang sedang tumbuh dan ternak yang sedang bunting. Kebutuhan protein pada ternak sedang tumbuh dibedakan menjadi 2, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok dan kebutuhan protein untuk pertumbuhan jaringan, sedangkan kebutuhan protein pada ternak bunting dapat dibedakan menjadi 4, yaitu kebutuhan protein untuk hidup pokok, kebutuhan protein untuk pertambahan bobot badan induk, kebutuhan protein untuk produk kebuntungan atau konsepsi dan kebutuhan protein untuk babi menyusui.
Kebutuhan energi pada ternak babi sedang tumbuh dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok dan kebutuhan energi untuk pertumbuhan, sedangkan kebutuhan energi untuk ternak sedang bunting dapat dibedakan menjadi 3, yaitu kebutuhan energi untuk hidup pokok, kebutuhan energi untuk pertambahan bobot badan babi bunting dan kebutuhan energi untuk laktasi.
Penghitungan kebutuhan protein dan energi yang tepat akan memberikan panduan penyusunan ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak yang bersangkutan. Ternak non ruminansia yang mendapatkan pakan yang balance dari segi kualitas dan kuantitas, maka produksi yang dihasilkan dapat optimal. Semoga ulasan ini dapat menjadi bahan informasi bagi peternak maupun pihak terkait. Semoga banyak manfaatnya.

Pencernaan Pada Hewan Non Ruminansia


PENCERNAAN PADA HEWAN NON RUMINANSIA 

Oleh: Gema Fajar Gunawan
Mahasiswa Peternakan UNSOED 2009/2010

Pada ternak non ruminansia, lipogenesis atau pembentukan asam lemak dapat berasal dari glukosa (dari hasil antara siklus kreb) karena adanya enzim citrate lyase, sedangkan pada ruminansia berasal dari asetat bukan dari glukosa.Kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan. Kapasitas saluran pencernaan pada ayam periode awal dalam memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh Rovira et al. (1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus, atau berakibat sebaliknya dengan pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi aktivitas enzim.
Dilakukannya pengukuran aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan adalah karena erat hubungannya dengan penggunaan protein yang merupakan nutrisi penting pada periode starter dan pertumbuhan. Perkembangan saluran pencernaan secara fisiologis, khususnya usus halus, berdasarkan aktivitas enzim protease total pada ayam yang berasal dari pemeliharaan in situ, dapat memberikan arti tentangkemampuan dalam memanfaatkan nutrisi untuk hidup pokok termasuk kesehatan dan proses produksi. Penelitian eksploratif dengan pengamatan aspek aktivitas enzim protease pada saluran pencernaan menurut umur (time course) merupakan fenomena yang dapat dipakai sebagai dasar pola perubahan pemeliharaan dari in situ menjadi exsitu dengan perbaikan ransum.
Dari berbagai sumber.

Proses Pencernaan Hewan Ruminansia


Hewan ruminansia seperti kerbau, domba, kambing, sapi, kuda, jerapah, kancil, rusa adalah hewan pemakan tumbuhan atau biasa disebut herbivora. Hewan tersebut memiliki karakter unik dalam mencerna makanan, yaitu dengan dua langkah pencernaan sebelum makanan benar - benar masuk ke dalam lambung.  Pertama adalah dengan menelan bahan makanan mentah, kemudian hewan mengeluarkan makanan setengah dicerna itu lagi dari perutnya dan akan mengunyahnya lagi. Lambung pada ruminansia berbeda dengan hewan pada umumnya, terdapat 2 buah ruang. Dikenal istilah rumen untuk menggambarkan lambung pada ruminansia dewasa.

Proses Pencernaan Hewan Ruminansia

Ruminansia memilliki sistem pencernaan yang sama dengan manusia ataupun hewan lainnya. Terdiri atas mulut, faring, esophagus, lambung, dan juga usus. Lambung pada ruminansia terdiri dari 4 bagian. Hal inilah yang unik pada ruminansia dan tidak dimiliki oleh hewan lainnya. Ada rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Ukuran dapat bervariasi sesuai dengan jenis, umur dan juga faktor makanan ruminansia.

Sapi, misalnya, mempunyai susunan gigi sebagai berikut:

3 3 0 0 0 0 0 0 Rahang atas

M P C I I C P M Jenis gigi

3 3 0 4 4 0 3 3 Rahang bawah

I = insisivus = gigi seri

C = kaninus = gigi taring

P = premolar = geraham depan

M = molar = geraham belakang

Dilihat dari susunan rumus gigi di atas, adakah yang berbeda dari rumus gigi pada umumnya? ternyata sapi tidak mempunyai gigi seri bagian atas ataupun gigi taring. Sebagai gantinya, ruminansia mempunyai gigi geraham yang lebih banyak. Hal ini memudahkan serta sesuai dengan makanan pokok sapi ataupun ruminansia yang lain, yaitu sebagai pengunyah serat kasar.

Proses pencernaan ruminansia tergolong unik karena melibatkan bagian yang tidak dimiliki hewan lain selain ruminansia, yaitu rumen. Fungsi rumen itu sendiri adalah sebagai penampung sementara makanan setelah ditelan hewan. Jadi setelah makanan dikunyah di mulut, maka akan ditampung sementara di rumen yang kemudian akan terjadi fermentasi selulosa oleh enzim selulase. Setelah melewati rumen, maka siklus makanan tersebut akan melanjut ke retikulum. Pada retikulum inilah makanan dibentuk menjadi gumpalan yang masih kasar. Nah, setelah jadi gumpalan ternyata yang terjadi bukan langsung melanjut ke bagian berikutnya, tapi dimuntahkan dulu ke mulut untuk dikunyah lagi. Setelah terjadi proses pengunyahan yang kedua kalinya itu, maka makanan akan melanjut ke retikulum. Setelah melewati proses tersebut, siklus makanan melanjut lagi menuju omasum dan abomasum.

Bakteri rumen akan menghasilkan suatu enzim yang disebut selulase yang bertugas merombak selulosa menjadi asam lemak. Akan tetapi, dalam lingkungan abomasum yang bersifat asam bakteri tidak dapat bertahan hidup, akibatnya bakteri ini akan mati, kemudian akan dicerna untuk menjadi sumber protein bagi hewan ruminansia. Dengan demikian, hewan ini tidak memerlukan asam amino esensial seperti pada manusia. Asam lemak serta protein inilah yang menjadi bahan baku pembentukkan susu pada sapi.

Sekum pada ruminansia lebih besar dibandingkan dengan sekum karnivora. Hal ini disebabkan karena makanan hewan hewan pemakan tumbuhan bervolume besar dan proses pencernaannya berat, sedangkan pada karnivora volume makanannya kecil dan percernaan berlangsung dengan cepat.

Usus pada sapi sangat panjang, usus halusnya bisa mencapai 4 meter. Hal ini dipengaruhi oleh makanannya yang sebagian besar terdiri dari serat (selulosa) enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri ini tidak hanya berfungsi untuk mencerna selulosa menjadi asam lemak, tetapi juga dapat menghasilkan bio gas yang berupa CH4 yang dapat digunakan sebagai sumber energy alternatif.

Selasa, 26 Juni 2012

Keajaiban Sholat


KEAJAIBAN SHOLAT

Shalat itu menyehatkan

ternyata, gerakan shalat itu menyehatkan tubuh loh!

Begini ceritanya....

Sholat Tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah SWT (Qs Al-Isra: 79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu shalat sunah itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kanker.

Tidak percaya? “Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahajjud. Jika anda melakukannya secara rutin, benar, khusuk, dan ikhlas, niscaya Anda terbebas dari infeksi dan kanker,” ucap Sholeh. Ayah dua anak itu bukan ‘tukang obat’ jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul Pengaruh Sholat Tahajjud Terhadap Peningkatan Perubahan Response Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi. Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu.

Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah sholat tambahan atau sholat sunah. Padahal jika dilakukan secara kontinyu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping).

Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang mu’akkadah (sunah mendekati wajib). Ia menitikberatkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan. Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan teknologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol.

Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin.

Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden siswa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11 rakaat, masing masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (Paramita, Prodia dan Klinika). Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil. Jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress.

Nah, menurut Sholeh, orang stress itu biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahajjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan teknik medis menunjukkan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik.

Sebuah bukti bahwa, keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya.

Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk di akal kita? Seorang doktor di Amerika telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang ditemuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran. Dia adalah seorang doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu ia telah membuka sebuah klinik yang bernama “Pengobatan Melalui Al Qur’an” Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat di dalam Al-Quran. Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya.

Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam, maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak dimasuki oleh darah.

Padahal setiap inchi otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara lebih normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu akhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang 5 waktu yang diwajibkan oleh Islam.

Begitulah keagungan ciptaan Allah. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu, kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam “sepenuhnya” karena sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Keajaiban Puasa

Keajaiban Puasa Ramadhan: Pembaruan Struktur Otak & Relaksasi Sistem Saraf

Selama sebulan puasa selama Ramadhan, umat Islam jalani runititas sahur, menahan diri dari makan, minum & seks, serta amalan ibadah. Penelitian menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Subhanallah, puasa Ramadhan terbukti bermanfaat untuk membentuk struktur otak baru dan merelaksasi sistem saraf.
Otak merekam kegiatan yang dilakukan secara simultan. Begitu juga dengan aktivitas puasa. Selama satu bulan, tubuh diajak menjalani rutinitas sahur, menahan diri dari makan, minum, dan seks, kemudian berbuka di petang hari serta menjalankan ibadah Ramadan lainnya.
Berpuasa menjadi bagian dari perintah agama. Sementara itu agama dan spiritualitas merupakan bentuk perilaku manusia yang dikontrol otak. Ketua Centre for Neuroscience, Health, and Spirituality (C-NET) Doktor Taufiq Pasiak mengatakan bahwa puasa menjadi latihan mental yang berkaitan dengan sifat otak, yakni neuroplastisitas. “Sel-sel otak dapat mengalami regenerasi dan membentuk hubungan struktural yang baru, salah satunya karena latihan mental yang terus-menerus,” kata Taufik.
Bahasa awamnya, kata dia, apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sel saraf itu minimal 21 hari. Menurut Taufik, puasa adalah latihan mental yang menggunakan perantara latihan menahan kebutuhan fisik (makan, minum, seks).

...Apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah...
Selain membentuk struktur otak baru, Taufik menjelaskan bahwa puasa merelaksasi sistem saraf, terutama otak. Tetapi ada perbedaan mendasar antara relaksasi sistem pencernaan dan sistem saraf. Selama puasa, sistem pencernaan benar-benar beristirahat selama sekitar 14 jam, sementara di dalam otak orang yang berpuasa justru terjadi pengelolaan informasi yang banyak.

brandalmascilik.blogspot.com
Otak Manusia
Contohnya, kata dia, otak dapat mengingat dengan baik di saat tenang dan rileks. Ketika tidur, biasanya orang bermimpi. Kenapa? Karena di waktu ini otak hanya menerima dan mengelola informasi yang berasal dari dalam dirinya. Di dalam Al-Quran, menurut Taufik, ada istilah an-nafsul-muthmainah (jiwa yang tenang) karena memang dalam suasana tenang orang dapat berpikir dengan baik dan memiliki kepekaan hati yang tajam. “Ketenangan membuat kita tidak reaktif menghadapi permasalahan,” katanya.
Luqman Al-Hakim pernah menasihati anaknya, “Wahai anakku, apabila perut dipenuhi makanan, maka gelaplah pikiran, bisulah lidah dari menuturkan hikmah (kebijaksanaan), dan malaslah segala anggota badan untuk beribadah.”
Otak terdiri atas triliunan sel yang terhubung satu dengan lainnya. Di dalamnya bisa disimpan 1 miliar bit memori atau ingatan. Ini sama dengan informasi dari 500 set ensiklopedia lengkap.
Di dalam otak, ada sel yang disebut sebagai neuroglial cells. Fungsinya sebagai pembersih otak. Saat berpuasa, sel-sel neuron yang mati atau sakit akan ‘dimakan’ oleh sel-sel neuroglial ini. Fisikawan Albert Einstein dikenal sebagai orang yang suka berpuasa. Ketika mendonasikan tubuhnya, para ilmuwan menemukan sel-sel neuroglial di dalam otak Einstein 73 persen lebih banyak ketimbang orang kebanyakan.

….Penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak...
Sebuah penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Dengan alat functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), Rately memantau kondisi otak mereka yang berpuasa dan yang tidak. Hasilnya, orang yang shaum memiliki aktivitas motor korteks yang meningkat secara konsisten dan signifikan.
Taufik mengatakan bahwa puasa adalah salah satu bentuktazkiyatun nafs (menumbuhkan nafsu) dan tarbiyatun iradah(mendidik kehendak). Karena itu, sejak niat puasa, perilaku selama berpuasa dan ritual-ritualnya berada dalam konteks memperbaiki nafsu, menumbuhkan, kemudian mengelola kemauan-kemauan manusia.

PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAH


PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAH

Penyakit Metabolik Pada Sapi Perah

Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal yang sangat berat bagi sapi perah. Banyak perubahan hormonal yang terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan tersebut tentu akan mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan metabolismenya tidak tercukupi dengan baik, selain dampak yang perlu diwaspadai meski secara fisiologi normal. Sebagian besar kejadian penyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada sapi perah seperti milk fever, ketosis, retensi plasenta, left displacement abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi. Pada tulisan ini lebih difokuskan pembahasan tentang penyakit milk fever dan dampaknya pada sistem kekebalan serta penyakit lain pada sapi perah pada periode periparturien.
PENTINGNYA MASA PERIPARTURIEN
Periode periparturien oleh banyak ahli ditetapkan 3 minggu sebelum partus hingga 3 minggu setelah partus. Istilah lain yang mungkin dikenal adalah transition period. Pada periode ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang drastis mulai persiapan kelahiran, proses kelahiran dan pasca kelahiran termasuk mulainya periode laktasi. Pada saat partus sejumlah hormon yang berkaitan dengan reproduksi, pengaturan dan stress dilepas dari hipofisis, yang kemudian menstimulasi organ endokrin lain atau jaringan target, termasuk sistem kekebalan. Seperti kita ketahui bahwa proses kelahiran akan dimulai dengan meningkatnya glukortikoid. Glukokortikoid telah lama dikenal sebagai agen imunosupresif, menghambat proses kesembuhan, menurunkan limfosit. Konsekuensinya adalah kebuntingan, kelahiran dan laktasi yang berkaitan profil neuroendokrin akan berpengaruh pada respon sistem kekebalan. Penelitian Kehrli dan Goff (1989) menunjukkan hal yang lebih jelas berkaitan dengan penurunan fungsi neutrofil dan limfosit pada periode peripaturien. Ini berarti bahwa sapi yang berada pada periode periparturien mempunyai risiko yang tinggi terhadap terjadinya penyakit infeksius. Selain itu, hal penting yang terjadi pada periode periparturient adalah keluarnya susu. Susu yang pertama kali keluar disebut kolostrum. Komposisi kolostrum ini berbeda dengan susu normal, terutama kandungan kalsium. Kandungan kalsium kolostrum bisa mencapai 2,1 gram/l atau 10 kali lipat dibanding susu normal. Kalsium susu ini berasal dari kalsium darah yang disuplai ke dalam ambing untuk menjadi bagian dari komposisi susu atau kolostrum. Karena peran kalsium yang sangat penting di dalam tubuh maka konsentrasi kalsium darah yang hilang setelah disuplai ke ambing dan keluar tubuh bersama susu, dipertahankan (homeostasis) dengan suatu mekanisme metabolisme kalsium. Bila terjadi gangguan dalam mempertahankan konsentrasi kalsium di dalam darah maka akan terjadi penurunan konsentrasi kalsium darah.

HUBUNGAN PENYAKIT METABOLIK DAN MASTITIS
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara penyakit metabolik dengan mastitis. Sebuah penelitian di New York terhadap 2.190 sapi perah menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara milk fever dengan mastitis. Sapi-sapi penderita milk fever akan mempunyai risiko 8,1 kali lebih tinggi mengalami mastitis dibanding sapi-sapi yang tidak menderita milk fever. Di Swedia, sapi penderita ketosis akan mempunyai risiko mengalami mastitis dua kali lebih tinggi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sapi perah penderita mastitis akan lebih parah bila mengalami retensi plasenta. Di Inggris, lahir kembar, distokia, retensi plasenta dan kepincangan sebelum kawin pertama kali pasca partus meningkatkan risiko mastitis (Peeler et al., 1994)
MILK FEVER
Milk fever dan hipokalsemia subklinis (total kalsium darah 2,0 mmol/l) adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien. Kejadian milk fever biasanya sekitar 5-10%, namun beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk fever bisa mencapai 34% bahkan lebih. Di Irlandia kejadian milk fever bisa mencapai 50%, di New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al., 2006). Namun dari semua laporan yang pernah ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemia subklinis.
Milk fever adalah penyakit yang terjadi akibat ketidakmampuan seekor sapi beradaptasi terhadap perubahan konsentrasi kalsium di dalam tubuhnya. Kalsium adalah makromineral yang sangat penting di dalam tubuh. Kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang, kontraksi otot, pembekuan darah dan lain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat proses pemerahan, maka kalsium darah harus segera tergantikan. Ketidakmampuan sapi menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot. Pada umumnya sapi penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah kurang dari 7 mg/dl. Implikasi menurunnya peran fungsi kalsium mempunyai dampak yang luas terhadap sistem kekebalan dan penyakit-penyakit lain pada sapi periode periparturien. Penelitian Triakoso dan Willyanto (2001) pada sapi perah di KUD Karang Ploso Malang, juga menunjukkan hal yang sama. Parturient hipokalsemia pada sapi-sapi di KUD Karang Ploso Malang meningkatkan risiko terjadinya distokia sebesar 7,8; retensi plasenta 2,6; metritis 4,1 dan kepincangan sebesar 6,6 kali dibanding sapi yang tidak megalami parturient hipokalsemia.
MILK FEVER DAN MASTITIS
Milk fever meningkatkan risiko terjadi mastitis pada sapi perah. Penderita milk fever akan mengalami kesulitan mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting. Penelitian Daniel et al. (1983) menunjukkan hubungan antara kekuatan dan laju kontraksi otot polos intestinal sejalan dengan konsentrasi kalsium darah. Sphincter lubang puting tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polos tersebut akan menyebabkan lubang puting menutup. Jika terjadi hipokalsemia maka akan terjadi penurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan lubang puting. Dan sebagaimana kita tahu bahwa lubang puting akan membuka sangat lebar setelah proses pemerahan dan semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi. Sementara itu penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang berat badannya, karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang puting dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis. Sementa itu, neutrofil dan limfosit perifer mengalami penurunan fungsi kekebalan pada sapi penderita milk fever (Kehrli, Jr. and Goff, 1989). Dengan demikian memang milk fever meningkatkan risiko mastitis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa risiko matitis meningkat 8 kali pada sapi penderita milk fever.
Hipokalsemia juga menjadi stressor bagi sapi perah. Sapi perah yang memasuki inisiasi partus akan terjadi peningkatan kadar kortisol 3-4 kali. Pada sapi hipokalsemia subklinis ditemukan peningkatan kortisol 5-7 kali saat partus, sementara pada sapi yang mengalami milk fever ditemukan peningkatan kortisol 10-15 kali lipat (Horst and Jorgensen, 1982). Tingginya kadar kortisol akan menyebabkan imunosupresi pada sapi pada periode periparturien dan diduga mulai terjadi 1-2 minggu sebelum partus (Kehrli et al., 1989; Ishikawa et al, 1987; Kashiwazaki et al., 1985).
DISTOKIA DAN PROLAPSUS UTERI
Beberapa penlitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejadian pada sapi penderita milk fever terhadap distokia. Beberapa kasus menunjukkan bahwa odd ratio distokia sebesar 2-3 kali lebih tinggi, bahkan hingga 6 kali lebih tinggi dibanding normal (Curtis et al., 1983;, Erb et al., 1985, Correa et al., 1993). Berkaitan dengan kejadian distokia pernah juga dilaporkan sapi penderita prolapsus uteri menunjukkan konsentrasi kalsium serum lebih rendah dibanding normal (Risco et al., 1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 19% sapi penderita prolapsus uteri menunjukkan hipokalsemia berat (kalsium serum <4mg/dl), sementara 28 sapi lainnya menunjukkan hipokalsemia moderat (kalsium serum 4,1 sampai 6,0 mg/dl).
RETENSI PLASENTA DAN ENDOMETRITIS
Beberapa penelitian yang mengungkap bahwa milk fever meningkatkan risiko kejadian retensi plasenta (House et al., 2001; Curtis et al., 1989). Dampak langsung milk fever terhadap retensi plasenta sebesar 2 kali, selain interaksi tidak langsung akibat milk fever pada distokia (Erb et al., 1985). Dampak tidak langsung milk fever terhadap retensi plasenta adalah, dimana milk fever menjadi faktor risiko terjadinya distokia dan distokia menjadi faktor risiko retensi plasenta (Correa et al., 1993). Melendez et al. (2004) melaporkan bahwa konsentrasi kalsium plasma lebih rendah pada penderita retensi plasenta dibanding sapi normal. Berdasarkan informasi di atas, retensi plasenta cenderung lebih banyak terjadi pada sapi penderita milk fever subklinis dibanding milk fever klinis.
Dalam hubungannya dengan kasus endometritis, penelitian Sheldon (2005) menunjukkan bahwa sapi penderita hipokalsemia klinis menunjukkan kejadian penyakit endometritis lebih tinggi dibanding sapi normal.
MILK FEVER DAN FERTILITAS
Banyak peneliti yang menduga milk fever menurunkan fertilitas sapi perah. Hal ini akibat peran kalsium pada organ reproduksi, dimana pada penderita milk fever terjadi gangguan fungsi otot uterus, adanya perlambatan involutio uteri (Borberry and Dobson, 1989) serta adanya perlambatan aliran darah uteri (Johnson dan Daniel, 1997). Hal-hal lain yang diduga berpengaruh terhadap fertilitas secara tidak langsung adalah kejadian distokia dan retensio plasenta serta endometritis. Penelitian Whiteford and Sheldon (2005) sapi penderita milk fever klinis memiliki diameter kornua uteri lebih besar pada saat bunting ataupun saat tidak bunting antara hari ke 15 hingga 45 pasca partus. Hal ini mengindikasikan adanya perlambatan involutio uteri. Penelitian ini juga melihat adanya penurunan gambaran corpus luteum, hal mana mengindikasikan terjadinya penurunan ovulasi setelah proses kelahiran. Penelitian Kamgarpour et al. (1999) menunjukkan sapi penderita hipokalsemia subklinis mempunyai folikel yang diovulasikan pada hari ke 15, 30 dan 40 pasca partus dan ukuran folikel yang diovulasikan pertama kali lebih kecil dibanding normal. Borsbery and Dobson (1989) melaporkan bahwa terjadi peningkatan service per conception, calving to service interval, serta calving to service conception pada sapi penderita milk fever.
MILK FEVER DAN SALURAN PENCERNAAN
Beberapa peneliti pernah melaporkan adanya keterkaitan antara milk fever dengan penyakit-penyakit gastrointestinal seperti rumen dan abomasum (Daniel, 1983; Jorgensen et al., 1998). Hal ini karena adanya penurunan motilitas muskulus rumen dan abomasum pada sapi penderita hipokalsemia subklinis maupun klinis. Menurunnya motilitas ini juga berpengaruh terhadap intake pakan. Penurunan intake pakan akan sangat tampak pada sapi yang berpoduksi tinggi, dimana kebutuhan akan pakan juga tinggi. Goff (2003) mengindikasikan bahwa menurunnya motilitas dan kekuatan kontraksi abomasum akan berpengaruh terhadap kejadian atoni abomasun dan distensi abomasum pada sapi yang mempunyai konsentrasi kalsium rendah di sekitar waktu partus.

Penyakit Pada Ayam


Penyakit Virus Pada Ayam

Berbagai jenis penyakit virus mudah sekali menular, dan banyak diantaranya sangat ditakuti peternak karena keganasannya. Sampai saat ini belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhan penyakit yang disebabkan oleh virus.

Ayam mudah diternak, tapi sangat rawan terhadap penyakit. Di antara berbagai jenis penyakit menular yang banyak mengancam, penyakit menular yang disebabkan oleh virus merupakan jenis penyakit yang paling ditakuti. Virus lebih lembut dari bakteri, karena jasad renik inibisa tembus dari saringan bakteri. Ia tidak bisa dilihat dengan mikroskop biasa. Untuk melihatnya secara jelas diperlukan foto dengan mempergunakan mikroskop elektron.

Penyakit virus mudah sekali menular. Baik secara kontak langsung maupun lewat perantara benda-benda lain. Misalnya udara, air minum, makanan, dan alat-alat peternakan yang tercemar. Di antara berbagai jenis penyakit akibat virus yang sering merugikan peternakan ayam antara lain adalah tetelo alias ND (New Cattle Desease), cacar unggas alias Fowl Pox, leukosis, lumpuh marek alias marek's disease, gumboro alias infectious bursal disease, salesma ayam alias infectious laryngotracheitis, dan kini flu burung, dll. Berikut akan dijelaskan beberapa penyakit yang diakibatkan oleh virus.

1. Tetelo adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Paramixovirus. Keganasannya tergantung dari strain atau tipenya. Penyakit ini menyerang alat pernafasan, susunan dan jaringan syaraf, serta alat-alat reproduksi telur. Yang ganas cepat sekali menular, dan seringkali menimbulkan kematian secara mendadak.

2. Cacar unggas adalah penyakit bercak-bercak kulit yang disebabkan oleh virus Borreliota avium. Menyerang rongga mulut, hulu tenggorokan, daerah sekitar mata, jengger dan pial. Selain secara kontak langsung, penyakit ini bisa meluar lewat perantaraan nyamuk dan lalat.

3. Leukosis adalah penyakit tumor menular yang bersifat menahun. Penyebabnya adalah virus leukosis. Gejala dimulai dengan timbulnya pertumbuhan abnormal pada sel-sel darah putih. Tumor yang menyerang jaringan syaraf akan menimbulkan kelumpuhan pada leher, sayap dan kaki. Yang menyerang mata akan membuat bentuk mata tidak normal, rabun atau buta sama sekali. Yang menyerang organ bagian dalam (hati, ginjal, limpa dan ovarium) akan membuat ayam berjalan tegak seperti itik, dan penyakitnya disebut big liver disease. Akibatnya hati akan membengkak 3 sampai 4 kali normal, kotorannya encer, tubuh kurus, jengger dan pial pucat berkerut.

4. Lumpuh marek adalah penyakit lumpuh yang disebabkan oleh virus herpes. Menyerang anak ayam berumur 1-5 bulan. Gejalanya ditandai kejang lumpuh dengan kaki satu ke depan dan kaki lainnya kebelakang. Selain itu juga menimbulkan pembesaran yang mencolok pada syaraf dan timbulnya tumor pada organ dalam, kulit dan otot.

5. Gumboro adalah penyakit yang menyerang bursa fabricii (kelenjar bulat terletak di atas kloaka), penyebabnya adalah virus gumbaro. Anak ayam umur 1-12 hari yang terkena penyakit ini tidak begitu nampak tanda-tandanya. Tapi anak ayam umur 3-6 minggu akan menunjukkan gejala yang khas. Anak ayam tampak lesu, mengantuk, bulu mengkerut, bulu sekitar dubur kotor, mencret keputih-putihan, dan duduk dengan sikap membungkuk. Suka mematuki duburnya sendiri, sehingga menimbulkan luka dan pendarahan. Ayam yang mati bangkainya cepat sekali membusuk.

6. Salesma ayam adalah penyakit yang disebabkan virus avium. Menyerang saluran pernafasan. Gejalanya sesat nafas, batuk-batuk, mata dan hidung meradang berair, dan sulit bernafas karena adanya lendir berdarah dalam rongga mulut. Bila benafas kepala ditegakkan, dan waktu mengeluarkan nafas kepala ditundukkan dengan mata terpejam. Penyakit ini bersifat akut.

Obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit virus
 sampai saat ini belum ada. Tapi pengobatan dengan antibiotika atau kombinasi dengan obat-obatan lain tetap diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dengan penyakit yang lain. Dan karena tak adanya obat yang mampu menyembuhkan penyakit virus, alangkah bijaksananya sebelum penyakit berbahaya ini terjadi, peternak melakukan tindak pencegahan. Caranya antara lain adalah melakukan tata laksana pemeliharaan yang baik, melaksanakan vaksinasi pada saat yang tepat, dan hindarkan terjadinya stress pada ternak.

Sabtu, 23 Juni 2012

Senjata Trdisional Indonesia


SENJATA TRADISIONAL INDNESIA



Nama Senjata Tradisional Khas Daerah Adat Budaya Nasional - Kebudayaan Nusantara Indonesia
http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/celurit.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/golok.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/keris.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/keris1.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/kujang.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/mandau.jpg http://www.wahana-budaya-indonesia.com/images/stories/parang.jpg
1. Provinsi DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD
Senjata Tradisional : Rencong
2. Provinsi Sumatera Utara / Sumut
Senjata Tradisional : Piso Surit, Piso Gaja Dompak
3. Provinsi Sumatera Barat / Sumbar
Senjata Tradisional : Karih, Ruduih, Piarit
4. Provinsi Riau
Senjata Tradisional : Pedang JenaWi, Badik Tumbuk Lado
5. Provinsi Jambi
Senjata Tradisional : Badik Tumbuk Lada
6. Provinsi Sumatera Selatan / Sumsel
Senjata Tradisional : Tombak Trisula
7. Provinsi Lampung
Senjata Tradisional : Terapang, Pehduk Payan
8. Provinsi Bengkulu
Senjata Tradisional : Kuduk, Badik, Rudus
9. Provinsi DKI Jakarta
Senjata Tradisional : Badik, Parang, Golok
10. Provinsi Jawa Barat / Jabar
Senjata Tradisional : Kujang
11. Provinsi Jawa Tengah / Jateng
Senjata Tradisional : Keris
12. Provinsi DI Yogyakarta / Jogja / Jogjakarta
Senjata Tradisional : Keris Jogja
13. Provinsi Jawa Timur / Jatim
Senjata Tradisional : Clurit
14. Provinsi Bali
Senjata Tradisional : Keris
15. Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB
Senjata Tradisional : Keris, Sampari, Sondi
16. Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT
Senjata Tradisional : Sundu
17. Provinsi Kalimantan Barat / Kalbar
Senjata Tradisional : Mandau
18. Provinsi Kalimantan Tengah / Kalteng
Senjata Tradisional : Mandau, Lunjuk Sumpit Randu
19. Provinsi Kalimantan Selatan / Kalsel
Senjata Tradisional : Keris, Bujak Beliung
20. Provinsi Kalimantan Timur / Kaltim
Senjata Tradisional : Mandau
21. Provinsi Sulawesi Utara / Sulut
Senjata Tradisional : Keris, Peda, Sabel
22. Provinsi Sulawesi Tengah / Sulteng
Senjata Tradisional : Pasatimpo
23. Provinsi Sulawesi Tenggara / Sultra
Senjata Tradisional : Keris
24. Provinsi Sulawesi Selatan / Sulsel
Senjata Tradisional : Badik
25. Provinsi Maluku
Senjata Tradisional : Parang Salawaki / Salawaku, Kalawai
26. Provinsi Irian Jaya / Papua
Senjata Tradisional : Pisau Belati
27. Provinsi Timor-Timur / Timtim
Senjata Tradisional : Parang
Keterangan :
Data ini berdasarkan jaman Indonesia masih 27 propinsi dengan provinsi terakhir masih timor timur. Timor timur kini sudah terpisah dari NKRI menjadi negara baru yang berdaulat dengan nama Timor Leste.

Contoh Format Laporan Agrostologi


LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
AGROSTOLOGI



















Oleh:
KOES INDRAJID
D0A0080036
Kelompok : 4



UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
LABORATORIUM ILMU TANAMAN PAKAN
PURWOKERTO
2007 



LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
AGROSTOLOGI















Oleh:
SUGENG RIYADI
D0A007037
Kelompok : 4 (Cenchrus Ciliari)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Kurikuler
Mata Kuliah Agrostologi
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman



UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
LABORATORIUM ILMU TANAMAN PAKAN
PURWOKERTO
2007 



LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
AGROSTOLOGI







Oleh:
SUGENG RIYADI
D0A007037
Kelompok : 4 (Cenchrus Ciliari)

Diterima dan disetujui pada tanggal ...........

Mengetahui,

               Koordinator Asisten                                    Asisten Pendamping

                  Aries Kurniawan                                           Aksan Albasyri
                 NIM. D1C003023                                       NIM. D1C004001


Mengetahui,
Kepala laboratorium Ilmu Tanaman Pakan


Ir. Suwarno M.sc, Ph.D
NIP. 131285838

KATA PENGANTAR


Segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga “Laporan Akhir Praktikum Agrostologi” ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabat serta orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya.  Laporan akhir praktikum ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti Responsi Praktikum Agrostologi.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan ini. 
Tiada gading yang tak retak, maka tentu dalam pembuatan laporan akhir praktikum ini masih ditemui kekurangan-kekurangan di sana sini.  Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan.  Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

                                                                                     Purwokerto,   November 2007

                                                                                                       Penulis



DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Tabel............................................................................................................ ix
Daftar Gambar......................................................................................................... x
Daftar Lampiran..................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.   LATAR BELAKANG
1.1.1.      Pengenalan jenis pupuk.................................................................. 1           
1.1.2.      Penyemaian biji legume.......................................................... ....... 1
1.1.3.      Amoniasi jerami padi.............................................................. ....... 2
1.1.4.      Agronomi tanaman pakan....................................................... ....... 2
1.1.5.      Analisis rumput potong........................................................... ....... 3
1.1.6.      Pemupukan tanaman pakan.................................................... ....... 4
1.1.7.      Analisis produksi rumput alam............................................... ....... 4
1.1.8.      Hay......................................................................................... ....... 4
1.1.9.      Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ....... 5
1.1.10.  Silase....................................................................................... ....... 6
1.2.   TUJUAN
1.2.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ....... 6
1.2.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ....... 6
1.2.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ....... 6
1.2.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ....... 6
1.2.5.       Analisis rumput potong........................................................... ....... 7
1.2.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ....... 7
1.2.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ....... 7
1.2.8.       Hay......................................................................................... ....... 7
1.2.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ....... 7
1.2.10.   Silase....................................................................................... ....... 7
BAB II MATERI DAN CARA KERJA
2.1.   MATERI
2.1.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ....... 8
1.    Alat.................................................................................... ....... 8           
2.    Bahan................................................................................. ....... 8
2.1.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ....... 8
1.    Alat.................................................................................... ....... 8
2.    Bahan................................................................................. ....... 8
2.1.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ....... 8
1.    Alat.................................................................................... ....... 8
2.    Bahan................................................................................. ....... 9
2.1.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ....... 9
1.    Alat.................................................................................... ....... 9
2.    Bahan................................................................................. ....... 9
2.1.5.       Analisis rumput potong........................................................... ....... 9
1.    Alat.................................................................................... ....... 9
2.    Bahan................................................................................. ....... 9
2.1.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ....... 9
1.    Alat.................................................................................... ....... 9
2.    Bahan................................................................................. ....... 9
2.1.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ....... 9
1.    Alat.................................................................................... ....... 9
2.    Bahan................................................................................. ..... 10
2.1.8.       Hay......................................................................................... ..... 10
1.    Alat.................................................................................... ..... 10
2.    Bahan................................................................................. ..... 10
2.1.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ..... 10
1.    Alat.................................................................................... ..... 10
2.    Bahan................................................................................. ..... 10
2.1.10.   Silase....................................................................................... ..... 10           
1.    Alat.................................................................................... ..... 10
2.    Bahan................................................................................. ..... 11
2.2.   CARA KERJA
2.2.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ..... 11
2.2.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ..... 11
2.2.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ..... 11
2.2.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ..... 12
2.2.5.       Analisis rumput potong........................................................... ..... 12
2.2.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ..... 13
2.2.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ..... 13
2.2.8.       Hay......................................................................................... ..... 13           
2.2.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ..... 14
2.2.10.   Silase....................................................................................... ..... 14
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.   HASIL
3.1.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ..... 15
3.1.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ..... 16
3.1.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ..... 16
3.1.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ..... 17
3.1.5.       Analisis rumput potong........................................................... ..... 17
3.1.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ..... 19
3.1.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ..... 19
3.1.8.       Hay......................................................................................... ..... 20
3.1.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ..... 20
3.1.10.   Silase....................................................................................... ..... 25
3.2.   PEMBAHASAN
3.2.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ..... 26
3.2.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ..... 27
3.2.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ..... 29
3.2.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ..... 30
3.2.5.       Analisis rumput potong........................................................... ..... 31
3.2.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ..... 32
3.2.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ..... 33
3.2.8.       Hay......................................................................................... ..... 33
3.2.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ..... 35
3.2.10.   Silase....................................................................................... ..... 37

BAB IV KESIMPULAN
4.1.   KESIMPULAN.................................................................................. ..... 40
4.1.1.       Pengenalan jenis pupuk........................................................... ..... 40
4.1.2.       Penyemaian biji legume.......................................................... ..... 40
4.1.3.       Amoniasi jerami padi.............................................................. ..... 41
4.1.4.       Agronomi tanaman pakan....................................................... ..... 41
4.1.5.       Analisis rumput potong........................................................... ..... 41
4.1.6.       Pemupukan tanaman pakan.................................................... ..... 41
4.1.7.       Analisis produksi rumput alam............................................... ..... 41
4.1.8.       Hay......................................................................................... ..... 42
4.1.9.       Pengenalan jenis rumput dan legume...................................... ..... 42
4.1.10.   Silase....................................................................................... ..... 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

 DAFTAR TABEL

Halaman

Pengenalan jenis pupuk.......................................................................................... 15
Analisis produksi rumput alam............................................................................... 19


 DAFTAR GAMBAR
        
         Halaman

      1.      Rumput gajah (Pennisetum purpureum)........................................................ 20
      2.      Rumput raja (Varietas Thailand)................................................................... 20
      3.      Hibiscus tiliaceus (Waru)............................................................................... 20
      4.      Glirisidia maculata (Gamal).......................................................................... 20
      5.      Agratum Ap................................................................................................... 21
      6.      Alang-alang................................................................................................... 21
      7.      Putri malu...................................................................................................... 21
      8.      Panicum maximum (R Bengala).................................................................... 21
      9.      R. Karpet....................................................................................................... 22
  10.      Rumput Jarum (Andropogon Aciculatus)...................................................... 22
  11.      Brachiraria Decumbes.................................................................................. 22
  12.      Albasia                                                                                                      ..... 22
  13.      Daun Grinting................................................................................................ 23
  14.      Lamtoro......................................................................................................... 23
  15.      R.Gajah (Varietas Mexico)............................................................................ 23
  16.      Peureria Javanica.......................................................................................... 23
  17.      Dadap                                                                                                        ..... 24
  18.      Manihot Utilisima (singkong)........................................................................ 24
  19.      R.Gajah (varietas afrika)................................................................................ 24
  20.      Centrosema Pubescens.................................................................................. 24
  21.      Rumput Gajah (Varietas Thailand)................................................................ 25
  22.      Rumput                                                                                                     .........             25

DAFTAR LAMPIRAN


                                                                                                                      Halaman
Gambar Tanaman................................................................................................... 45
Pemupukan............................................................................................................ 46


Animasi

gambar